Bisakah paman bawakan Al-quran untuk kami


 “Paman, demi Allah kami ingin sekali menghafal Al-quran, tapi di sini tidak ada Al-Quran...”

“... Bisakah paman bawakan Al-quran untuk kami?"

Seorang pemuda tangguh yang kerap disapa Abu Zubair bercerita :

Hari itu, saya dan teman-teman  pergi ke sebuah kamp pengungsian milik penduduk suriah di perbatasan Turki. Kamp tersebut diberi nama Kamp Ummahatul Mu’minin, dimana semua orang yang tinggal disana adalah janda syuhada. Suami-suami mereka telah syahid di medan jihad.

Keadaan disana sungguh memprihatinkan. Mereka kelaparan. Air bersih sulit didapat, hingga menyebabkan kesehatan mereka terganggu. Maka dari itu, kami pergi kesana untuk menyalurkan bantuan kesehatan.

Beberapa saat setelah para relawan dokter yang ikut bersama kami masuk ke kamp tersebut, saya–seperti biasa- lebih memilih untuk menunggu di luar. Saya segera mengambil tas ransel berukuran 15 kg yang telah saya isi penuh dengan biskuit, lalu saya kumpulkan anak-anak penghuni kamp tersebut.

Maka mereka pun berdatangan dengan wajah riang-gembira. Senyuman-senyuman kecil mengembang diantara debu tebal yang menempel di pipi-pipi mereka.

“Siapa yang bisa menghafal satu ayat Al-quran atau satu hadist, maka paman akan kasih dia satu biskuit ini.”  Saya berusaha memancing semngat mereka.

Tanpa menunggu lama mereka pun mengantri. Satu persatu mengeluarkan hafalan yang ada di kepala mereka.

Saya berfikir, setidaknya satu biskuit yang tak seberapa itu bisa menyeka air mata mereka sesaat.

Hari itu, saat trik matahari sudah mulai surut, kami pun berkemas untuk pulang. Tiba-tiba datang tiga anak perempuan yang kira-kira masih kelas 3 SD. Mereka datang dengan malu-malu. Satu sama lain menyuruh temannya untuk bicara, mengutarakan maksud mereka.

“Apakah paman Abu Zubair bawa mushaf Al-quran?” salah satu dari mereka akhirnya mengalah.

Dengan muka bingung, saya pun bertanya, “Untuk apa?”

“Paman, demi Allah kami ingin sekali menghafal Al-Quran tapi disini tidak ada Al-quran...”

“... Bisakah paman berikan Al-quran untuk kami?"

Hari itu, langit seakan runtuh di atas kepala saya. Air mata saya tidak sanggung saya tahan, bercucuran sudah. Hati saya hancur berkeping-keping. Sungguh, saya merasa sangat malu terhadap diri saya sendiri.

Lihatlah mereka! Anak kecil yang rumahnya sudah hancur, ayah mereka sudah tiada, tinggal di kamp pengungsian, masih mengatakan, “Saya ingin menghafal Al-quran.”

Dan lihatlah di Indonesia!  Anak-anak yang telah dilalaikan dari al-quran. Hidup dalam kemewahan, aman, damai, tanpa ancaman, tapi sedikit sekali dari mereka yang hatinya terketuk untuk menghafaal Al-quran.

Sumber : baca disini

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANTUN SANTRI

PENERIMAAN SANTRI BARU TAHUN 2017-2018

INFORMASI PENERIMAAN SANTRI BARU T.P 2018/ 2019

KISAH NYATA GRESS

NENEK

KISAH APIK